Ayah Ibu Jangan Murtadkan Aku - "Aku ingin anakku nantinya bisa jadi penyanyi terkenal," ujar seorang
ibu muda dalam suatu obrolan di sebuah acara perpisahan anak-anak kelas
III SMP di gedung cukup mewah di bilangan Jakarta. Kebetulan saat itu
sedang ditampilkan acara hiburan yang diisi oleh sumbangan alunan suara
merdu anaknya. "Kalo aku sih, anakku ingin aku masukkan ke sekolah
modelling biar bisa jadi peragawati terkenal," timpal ibu lainnya tak
kalah sengit.
Walhasil obrolan ibu-ibu yang ikut mengiring anak-anak mereka pada acara
perpisahan sekolah, tak jauh dari seputar obsesi para ibu kalangan elit
itu terhadap anak-anak mereka. Obsesi orangtua terhadap anak, memang
tak dilarang dalam Islam. Selama obsesi itu merupakan wujud kasih sayang
orangtua terhadap anak-anak mereka. Agar anak-anak mereka menjadi orang
yang berhasil dalam karir, mandiri (baik secara materi maupun sikap
mental),
mendapat pendamping hidup yang baik, terpandang di masyarakatnya, serta
tetap berbakti pada orangtua. Bagaimana soal berbakti kepada Tuhan? Ini
juga hal yang sering tak dilupakan sebagai bagian obsesi para ortu
terhadap anak-anak mereka. Biasanya satu paket, agar anak berbakti
kepada orangtua dan agamanya.
Namun sayangnya unsur terakhir ini, kerap cuma sebagai embel-embel
formalitas dari bangunan obsesi para ortu yang diangankan pada anak-anak
mereka. Tindak lanjut dari obsesi terakhir ini, sayangnya macet cuma
sampai pada tataran angan-angan. Dalam bentuk implementasi, bak "jauh
panggang dari api" alias berbanding terbalik.
Ilustrasi di awal tulisan ini, mungkin bisa jadi contoh. Bagaimana
tergiurnya seorang ibu pada predikat sukses duniawi yang kelak bisa
disandang anak, tanpa mempedulikan apakah itu selaras dengan harapan
Tuhan? Padahal hakikatnya, kita bukanlah the real owner dari anak-anak
yang kita miliki. Kita hanya ditugasi Allah Azza wa Jalla, Pemilik
Sesungguhnya Seluruh Anak- Anak Manusia, cuma sebagai fasilitator yang
harus bisa mengantarkan anak-anak kita kembali kepada Pemiliknya dalam
keadaan orisinal (asli) sebagaimana dulu dia dilahirkan. Dalam bahasa
imannya, anak itu lahir dalam keadaan fitrah (suci), karena itu ia harus
kita kembalikan pada Pemiliknya juga dalam kondisi fitrah.
Al Quran menegaskan hal itu. "Dan (ingatlah) ketika Robb-mu mengeluarkan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian atas
jiwa-jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab; "Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi". (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan;
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap
kesaksian ini." (Surat Al Araf 172).
Setiap anak Adam yang terdiri dari beragam warna, beragam bahasa,
beragam kultur, dan akhirnya berhimpun dalam berbagai suku bangsa di
dunia itu, hakikatnya lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid kepada Allah
Azza wa Jalla). Ini merupakan warisan Robbani sekaligus modal dasar
yang paling kokoh yang akan menentukan eksistensi kemanusiaan setiap
insan. Bagaimana nilai-nilai keyakinan yang diajarkan anak, miliu
tempatnya hidup, serta sistem pembinaan karakter yang diterapkan
terhadap dirinya, kelak yang akan menentukan akan menjadi seperti apa
anak di kemudian hari. Apakah anak tetap dalam fitrahnya, atau apakah
bahkan ia kelak menjadi penentang fitrah yang dimilikinya?
Karena itu Nabi mulia saw menegaskan, "Setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitah.
Maka orangtuanyalah yang kemudian berperan dalam merubah fitrahnya,
apakah ia kelak menjadi Yahudi, menjadi Majusi, atau menjadi Nasrani."
(hadits shahih).
Hadits di atas tidak menyebutkan, si anak bisa berubah menjadi Islam.
Karena Islam (fitrah) itu sesungguhnya telah menyatu (inherent) dalam
diri setiap anak yang lahir. Maka tugas para orangtua yang diamanati
anak-anak yang fitrah itu oleh Allah swt, sesungguhnya adalah tetap
mengasuh mereka dalam sistem dan pola yang fitrah. Dengan kata lain,
anak-anak itu sebetulnya telah disediakan oleh Penciptanya suatu sistem
pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga hanya dengan
sistem itu anak-anak dijamin tak akan berubah fitrahnya hingga ia
menghadap Tuhannya.
Kita -para orangtua- yang seharusnya berperan mengarahkan, menempatkan,
dan menjaga si anak agar tetap berada pada koridor sistem fitrah itu,
yang tak lain adalah dienul Islam. Hanya sistem (dien) Islam yang bisa
mengakomadasi, menumbuhkan, mengembangkan, serta mengokohkan potensi
fitrah setiap manusia. Karena Islam adalah agama yang diciptakan oleh
Pencipta sekaligus Pemilik manusia itu sendiri. Perintah itu dengan
gamblang dituangkan dalam firmanNya yang agung;
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia manusia tidak mengetahuinya." (Ar Ruum : 30) .
Lantaran itulah para orangtua berperan mengenalkan, menggiring, dan
menempatkan anak-anak agar dia hidup dalam habitat sistem fitrah itu
(dienul Islam) secara permanen. Anak tak boleh sedikitpun disusupkan
nilai-nilai asing pada aspek manapun, yang dapat merusak potensi
fitrahnya. Sebaliknya orangtua berkewajiban menempa kepribadian anak
berdasarkan petunjuk sistem fitrah itu, agar potensi fitrah anak menjadi
sesuatu yang dominan muncul ke permukaan kepribadiannya. Sebab hanya
manusia yang memiliki kepribadian fitrah yang akan bisa memelihara
eksistensi kehormatan dirinya.
Tentu saja keliru asumsi yang mengatakan, mengajarkan Islam pada anak,
cuma urusan sholat, puasa, dan bersedekah. Namun dia tidak mendidiknya
agar anak berpakaian sopan dan menutup aurat (bagi anak-anak perempuan).
Dia tidak menciptakan atmosfer Islami di dalam rumah tangganya. Atau
bahkan dia membiarkan anak-anaknya bebas mengikuti trend budaya Barat,
baik dari segi pergaulan, selera hiburan, selera berpakaian, dan lain
sebagainya. Atau juga dia membebaskan anaknya memilih jalan hidup yang
bertentangan dengan Islam. Akan lebih keliru lagi misalnya, jika ada
orangtua menginginkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan
sholihat, tapi menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahsekolah Kristen
misalnya. Atau anak-anak kita biarkan bergaul dalam lingkungan
komunitas atheistik/materialistik yang menganut paham pergaulan bebas.
Komunitas yang menganggap semua agama sama, semua agama baik, surga
tidak bisa diklaim hanya sebagai milik orang-orang Islam belaka. Jelas
ini tidak kondusif bagi perkembangan fitrah anak. Bahkan sangat
membahayakan fitrahnya.
Jika kita tidak asuh anak-anak kita dalam asuhan sistem dan nilai-nilai
yang Islami, jangan salahkan jika mereka kelak di kemudian hari menjadi
orang-orang nyeleneh. Orang-orang yang tidak tau malu mempertontonkan
aurat, Orang-orang yang menjadi pemuja ideologi Barat. Orang-orang yang
sesungguhnya telah menjadi murtad (keluar dari Islam), naudzubillah min
dzalik.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mau mendengar suara fitrah
anak-anak kita. Agar kita tidak memaksakan kehendak dan obsesi kita yang
barangkali justru akan memurtadkan mereka. Coba dengar baik-baik suara
fitrah mereka: "Ayah, ibu, jangan murtadkan anakmu!" Wallahu alam.
0 comments:
Post a Comment